
Makna “Topo Wudho” Ratu Kalinyamat dalam Tinjauan Antropologi Linguistik
M. Yuska Vik N.N, Akhmat Sofiyan
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna “topo wudho” dalam tinjauan antropologi linguistik. Jenis penelitian ini adalah peneltian kualitatif yaitu etnografi dengan pendekatan etnolinguistik. Pendekatan etnolinguistik digunakan karena pendekatan ini diterapkan untuk memahami budaya maupun bahasa yang berkembang di masyarakat dan memaparkannya dalam bentuk deskripsi. Sumber data penelitian ini adalah beberapa buku yang berhubungan dengan judul serta wawancara dengan juru kunci sekaligus sejarawan Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat. Hasil penelitian ini yaitu topo wudho memiliki banyak penafsiran, diantaranya makna topo wudho diartikan dengan Ratu kalinyamat yang tidak memakai gelar kebangsawanan dan menjadi rakyat biasa sampai dendamnya terbalasakan, telanjang bulat tanpa sehelai pakai apapun, serta telanjang bulat tetapi rambut sebagai pakaian atau penghalang tubuh agar tidak telanjang bulat.
Kata kunci : Topo wudho, antropologi linguistik, Ratu kalinyamat.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jepara merupakan kota religius yang masih berpegang teguh dengan ajaran agama islam dan menghormati tradisi lokal. Jepara masih banyak masyarakatnya yang melestarikan tradisi-tradisi lokal salah satu contohnya adalah tradisi pesta baratan. Menurut (Ernawati & Zafi, 2020) tradisi baratan merupakan peninggalan Nyai Ratu Kalinyamat guna mengenang kematian suaminya yaitu sultan hadirin, yang terbunuh di saat perang dengan Arya Penangsang.
Terbunuhnya Sultan Hadirin dan kakaknya yaitu Raden Mukmin atau di kenal dengan Sunan Prawoto oleh Arya Penangsang membuat Ratu Kalinyamat menuntut keadilan untuk membalaskan dendam atas kematian suaminya, dengan cara melakukan topo wudho. Konsep topo wudho yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat mempunyai pandangan dari segi antropologi linguistik. Topo wudho sendiri mempunyai makna berbeda, beberapa masyarakat mempunyai penafsiran tersendiri mengenai topo wudho yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat, hal ini tentunya dipengaruhi oleh faktor antropologi linguistik dari masyarakat tersebut.
Menurut pandangan (Said, 2013) menyatakan bahwa Ratu Kalinyamat dalam kalangan sufistik memandangnya sebagai perilaku simbolik yang bermakna meninggalkan segala macam kekuasaan duniawi baik material dan jabatan. Telanjang dalam hal ini dimaksud dengan simbol pengosongan diri dan kemudian di isi dengan pertobatan, kasih dan taqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Melihat fenomena ini, peneliti ingin mencari makna arti mengenai topo wudho dari segi antropologi linguistik. Dalam hal ini kata “topo wudho” yang dipahami oleh masyarakat Jepara masih simpang siur, maka dari itu peneliti ini melakukan penelitian ini guna meluruskan makna sebenarnya mengenai arti topo wudho yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat agar masyarakat lebih memahami mengenai perjalanan Ratu Kalinyamat di Jepara.
B. Rumusan Masalah
-
Bagaimana makna arti topo wudho Ratu Kalinyamat jika ditinjau melalui antropologi linguistik yang berkembang di masyarakat Jepara?
-
Bagaimana pandangan menurut juru kunci makam Ratu kalinyamat terhadap antropologi lingustik topo wudho Ratu kalinyamat di masyarakat jepara
C. Tujuan Penelitian
-
Untuk mengetahui makna arti topo wudho Ratu Kalinyamat dengan tinjauan antropologi linguistik yang berkembang di masyarakat Jepara.
-
Untuk mengetahui pandangan menurut juru kunci makam Ratu kalinyamatan terhadap antropologi lingustik topo wudho Ratu kalinyamatan di masyarakat Jepara
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif yaitu etnografi dengan pendekatan etnolinguistik. Pendekatan etnolinguistik digunakan karena pendekatan ini diterapkan untuk memahami budaya maupun bahasa yang berkembang di masyarakat dan memaparkannya dalam bentuk deskripsi. Temuan yang diinginkan adalah mengenai makna topo wudho ditinjau dari antropologi linguistik. Sumber metode penelitian ini dengan cara melakukan wawancara kepada juru kunci makam Ratu kalinyamat untuk mendapatkan data primer, dan studi literatur untuk mendapatkan data sekunder. Analisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan data hasil penelitian dalam bentuk narasi deskriptif.
BAB II PEMBAHASAN
A. Makna Topo Wudho dalam Tinjauan Antropologi Linguistik
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan secara menyeluruh. Di satu pihak manusia adalah pencipta kebudayaan, di pihak lain kebudayaan yang “menciptakan” manusia sesuai dengan lingkungannya. Dengan demikian, terjalin hubungan timbal balik yang sangat erat dan padu antara manusia dan kebudayaan. Karena antropologi sebagai bidang ilmu yang mempelajari seluk-beluk kehidupan manusia, maka pandangan awam yang yang mengatakan antropologi sebagai ilmu yang mempelajari kebudayaan merupakan kesalahan umum yang terjadi selama ini. Pandangan itu dapat diterima apabila definisi kebudayaan mengindeksikalitas keseluruhan seluk-beluk manusia. Di samping itu, karena budaya dalam suatu kehidupan manusia yang paling dominan, pemahaman antropologi sebagai ilmu yang mempelajarai sosio-budaya semakin dapat diterima (Sibarani, 2024).
Orang yang memiliki keahlian dalam bidang linguistik antropologi (antropologi linguistik) di kenal dengan sebutan “linguis antropologi” (antropologi linguistik), dalam bidang antropologi linguistik di kenal dengan nama “antropolog linguistik”, dalam bidang etnolingistik di kenal “etnolinguis” dan dalam bidang Linguistik budaya di kenal “linguis budaya” serta dalam antropolinguistik di kenal antropoligis. Dalam tulisan ini digunakan istilah antropolinguistik dan orangnya disebut antropolinguis untuk mengacu pada istilah-istilah tersebut di atas (Sibarani, 2015)
Masyarakat lebih menafsirkan "topo wudho" sebagai makna kiasan. Tapa Wudho Sinjang Rambut berarti Ratu Kalinyamat meninggalkan semua urusan kerajaan dan duniawi untuk bermeditasi di Gunung Danaraja. Topo wudho Ratu Kalinyamat adalah kejujuran seorang hamba kepada Tuhannya tentang harapan dan permintaan. Wudho atau telanjang berarti berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Wudho atau telanjang didefinisikan secara denotatif, bahkan tidak menggunakan pakaian atau kain. Pada saat yang sama, dalam konotatif, itu ditafsirkan sebagai kejujuran manusia yang tidak memiliki kuasa kecuali karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, Ratu Kalinyamat menanamkan nilai-nilai kesetiaan. Kesetiaan Ratu Kalinyamat kepada Sultan Hadlirin adalah contoh yang dipegang oleh Wanita asli Jepara selalu menghormati, patuh, dan setia kepada suami mereka. Di selain itu, mereka juga mengakui bahwa Ratu Kalinyamat adalah pahlawan wanita yang luar biasa (Martini dkk, 2021).
Masyarakat migran cenderung menafsirkan "topo wudho sinjang rambut" Ratu Kalinyamat sebagai dipenjara telanjang dan hanya ditutupi oleh rambutnya yang panjang dan longgar. Ini memberikan kesan bahwa Ratu Kalinyamat tidak menjaga kehormatan dan moralitas wanita dan menekankan sensualitas dan erotisme. Bahkan beberapa orang berpikir bahwa Ratu Kalinyamat adalah "seks kesenangan". Orang-orang memanfaatkan kesan negatif ini untuk "mengambil berkah" untuk mendapatkan "susuk cairing" Ratu Kalinyamat. Hal tersebut adalah salah satu daya tarik bagi wanita untuk datang ke Ratu Kuil Kalinyamat setiap Jumat malam (Martini dkk, 2021).
Ritual topo wuhdo sinjang rambut yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat merupakan perwujudan dari Kesetiaan Ratu Kalinyamat kepada suaminya, yaitu Sultan Hadlirin. Ritual ini juga merupakan manifestasi religiusitas Ratu Kalinyamat. Dia menyerahkan semua ketidakadilan yang dialami kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Setelah kematian suaminya, Ratu Kalinyamat tidak pernah menikah lagi. Nilai kesetiaan kemudian dicontohkan oleh wanita Jepara untuk selalu menghormati, taat, dan setia kepada suami mereka.
B. Pandangan Juru Kunci Sejarawan Makam Ratu Kalinyamat terhadap Antropologi Linguistik Topo Wudho Ratu kalinyamat di Jepara
Penelitian ini menganalisis makna topo wudho secara antropologi linguistik yang berkembang di Jepara. Berdasarkan hasil wawancara yang telah peneliti lakukan di makam Sultan Hadlirin mengenai persoalan tentang topo wudho, cerita tentang topo wudho yang berkembang di Jepara sebagian cerita itu sebenarnya sebuah cerita yang tidak sebenarnya, karena tidak mungkin seorang ratu melakukan hal yang tercela. Akan tetapi terdapat sebuah kisah pertapaan ratu kalinyamat yang di dalamnya mengungkapkan bahwa ratu kalinyamat bertapa dengan telanjang dan berkain rambut. Menurut Dr. Achmad Slamet yang menjadi juru kunci sekaligus sejarawan mengenai Ratu kalinyamat menjelaskan bahwa makna topo wudho yang sebenarnya adalah mencari pesepen atau sekarang lebih dikenal dengan khalwat dan mendekatkan diri kepada Allah serta lepas dari pakaian adat keraton dari seorang ratu, untuk meminta keadilan dan bantuan dari allah atas keterpaksaan kehilangan orang yang terkasih yaitu sultan hadlirin.
Setelah meninggalnya Kakak Dari ratu Kalinyamat yaitu Raden Mukmin atau dikenal dengan nama Sunan Prawoto, Ratu Kalinyamat tak terima atas pembunuhan saudaranya itu, kemudian ratu Kalinyamat dan suaminya Sultan Hadlirin, ia mencoba pergi ke Kudus serta mohon keadilan kepada Sunan Kudus. Akan tetapi, Sunan Kudus justru membenarkan perbuatan muridnya yaitu Arya Penangsang. Sunan Kudus berkata "kakakmu telah berhutang nyawa pada Arya Penangsang, karena telah membunuh ayahnya. Ratu Kalinyamat menjadi kecewa dan sakit hati bersama suaminya, lalu ia kembali ke Jepara. Namun, ketika perjalan menuju ke Jepara, mereka di hadang oleh utusan dari Arya Penangsang yang memang ditugaskan untuk menghadang, di saat itulah Sultan Hadlirin berhasil di bunuh oleh utusan Arya Penangsang. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1471 tahun Jawa atau bertepatan dengan tahun 1549 Masehi (Team Penyusun Naskah Sejarah Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat Tahun 1991 M, 2015)
Dalam kisah meninggalnya Sultan Hadlirin terdapat buku yang menceritakan bahwa meninggalnya Sultan Hadlirin yang terbunuh oleh Arya Penangsang di karenakan Sunan Kudus yang sangat marah sekali, Sunan kudus merasakan seakan-akan Sultan Hadlirin telah pamer kesaktiannya di depannya Sunan kudus sehingga membuat geram dan merasa dihina, di saat itulah Sunan kudus memanggil muridnya yaitu Arya penangsang untuk mengejar Sultan Hadlirin dan membunuhnya. Setelah mendengar kabar bahwa suaminya meninggal disaat itu pikiran ratu kalinyamat sangat kalut sehingga dia tidak mengkhawatirkan lagi akan dirinya. Ia bertekad pergi bertapa dan meninggalkan seluruh adat keraton, bahkan Ratu Kalinyamat juga tidak memakai pakaian adat kerajaan, ia juga bersumpah akan terus bertapa sampai Arya penangsang terbunuh. Ketika melakukan pertapaan Ratu Kalinyamat didatangi oleh Adipati Pajang membujuk Ratu Kalinyamat agar Ratu Kalinyamat berkenan turun dari pertapaannya, namun Ratu kalinyamat menolak mengingat Ratu Kalinyamat yang sudah bersumpah tidak akan turun dari pertapaannya sebelum Arya penangsang terbunuh. Ratu Kalinyamat pun sempat menyuruh Adipati Hadiwijaya, namun ia menolaknya. Akan tetapi, dengan adanya desakan Ki Pemanahan dan Ki Panjawilah akhirnya dia menerima tugas dari Ratu Kalinyamat..
Diakhir ceritanya, Arya Penangsang melakukan perjalanan sampai di sebelah timur Begawan Sore-Caket. Konon pada masa itu masyarakat memiliki anggapan bahwa siapa saja yang ingin berperang serta berani untuk menyebrangi bengawan tersebut, maka akan mengalami kesialan dalam peperangannya. Kesialan tersebut menimpa Arya Panangsang yang ternyata Arya Panangsang melewati bengawan tersebut dan sudah ditunggu oleh Danang Sutawijaya di seberang bengawan dengan kuda betina warna putih bersih.
Di akhir cerita, Danang Sutawijaya berhasil menikam Arya Penangsang dengan pusakanya yaitu tombak kyai Pleret, yang mengakibatkan usus dari Arya Penangsang terurai keluar. Namun, kelihatannya dia masih hidup bahkan seperti biasa saja, bahkan usus itu ia sampirkan ke hulu keris, setelah mendekati lawannya ternyata yang di lawan adalah anak kecil, sehingga keinginan untuk menghunuskan kerisnya ke Danang Sutawijaya ia urungkan, tetapi dia lupa bahwa keris itu telah di sampirkan ke usus yang telah keluar sehingga setelah melihat itu ia sadar bahwa usus telah terputus kemudian dia meninggal.
Setelah mendengar meninggalnya Arya Penangsang barulah Ratu Kalinyamat kembali ke keraton untuk memimpin dan sepuluh tahun kemudian setelah kematian suaminya tahun 1549 M Ratu Kalinyamat membangun kembali Masjid Sultan Hadlirin dengan lebih baik tanpa merusak keaslian yang telah dibangun terlebih dahulu. Topo Wudha yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat tentunya memberikan sebuah pelajaran mengenai sebuah kesetiaan, bukan mengajarkan sebuah hal yang tercela. Makna Topo Wudho sendiri merupakan wujud dari Ratu Kalinyamat yang melepaskan sebuah hal duniawi dan melakukan pertapaan untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dengan meninggalkan kebangsawanannya.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Topo wudho ratu kalinyamat jika ditinjau dari antropologi linguistik memiliki berarapa makna. Kataa Topo sendiri memiliki arti “bertapa atau menyendiri pada suatu tempat”, sedangkan kata Wudho memiliki arti telanjang bulat tanpa pakaian sama sekali. Topo wudho juga diartikan dengan meninggalkan kekuasaan dan menjadi rakyat biasa dengan cara tidak memakai baju keraton atau pakaian kebangsawanan. Menurut pemahaman masyarakat Jepara yang masih awam juga menyebutkan bahwa Topo Wudho yaitu memang telanjang bulat tetapi hanya ditutupi helaian rambut sebagai pakaian untuk menutupi tubuh ratu kalinyamat.
Makna yang benar mengenai topo wudho menurut juru kunci Makam Sultan Hadlirin dan Ratu kalinyamat adalah tindakan Ratu Kalinyamat dengan alasan meninggalnya dua orang terkasih yaitu kakak kandungnyan dan suami tercinta, sehingga dia bersumpah tidak akan memakai baju kebesaran serta tidak akan kembali ke keraton sebelum dendamnya Ratu Kalinyamat terbalaskan yaitu terbunuhnya Arya Penangsang.
B. Saran
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah disajikan maka peneliti memberikan saran kepada masyarakat untuk mempelajari mengenai Ratu Kalinyamat karena sekarang sudah menjadi tokoh pahlawan jepara. Masyarakat juga harus memahami bahwa topo wudho yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat baik itu berdasarkan tinjauan antopologi linguistik maupun yang telah disampaikan oleh juru kunci makam Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat agar tidak salah persepsi atau penafsiran dari cerita topo wudho.
DAFTAR PUSTAKA
Ernawati, R., & Zafi, A. A. (2020). Tradisi Pesta Baratan dalam Perspektif Islam di Desa Kriyan Kalinyamatan Jepara. INOVATIF: Jurnal Penelitian Pendidikan, Agama, Dan Kebudayaan, 6(2), 128-145.
Martini, Laura Andri Retno dan Khotibul Umam. (2021). The Mythology of Queen Kalinyamat and its Correlation against Women's Behavior in North Jepara: A Feminist Study. E3S Web of Conferences 317, 04021 (2021). https://doi.org/10.1051/e3sconf /202131704021
Said, Nur. 2013. Spiritualisme Ratu Kalinyamat; Kontroversi Topo Wudo Sinjang Rambut Kanjeng Ratu di Jepara Jawa Tengah.
Sibarani, Robert. 2015. Pendekatan Antropolinguistik Terhadap Kajian Tradisi Lisan. Retorika: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No. 1 April 2015, 1-17
Sibarani, Robert. 2024. Antropolinguistik : Sebuah Pendekatan. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor.
Team Penyusun Naskah Sejarah Sultan Hadlirin Dan Ratu Kalinyamat Tahun 1991 M. (2015) : Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinymat Sebuah Sejarah Ringkas
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
ETNOSAINS; IDENTIFIKASI SUMBER AIR DENGAN DOWSING RODS
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik kearifan lokal yang digunakan oleh masyarakat untuk mengidentifikasi sumber air di dalam tanah yaitu teknik kawat atau dowsing
UPAYA MENDEKATKAN MUSEUM TERHADAP GENERASI MUDA
UPAYA MENDEKATKAN MUSEUM TERHADAP GENERASI MUDA (Oleh : Naila Faza Zulfa) A. Gambaran Umum Tentang Museum Pengertian Museum Secara etimologis, museum berasal dari kata Yuna
EKSISTENSI NOVEL TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DALAM SASTRA DUNIA
EKSISTENSI NOVEL TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DALAM SASTRA DUNIA Oleh : Khoirul Ummah Sholichah Sastra menurut Lefevere adalah diskripsi pengalaman kemanusi
ANDREA HIRATA, AGEN PERUBAHAN SASTRA MODERN INDONESIA
ANDREA HIRATA, AGEN PERUBAHAN SASTRA MODERN INDONESIA Oleh : Chilwa Eliyana Pemuda adalah generasi penerus bangsa dari generasi terdahulu. Anggapan itu merupakan beban mo
PUISI TAUBAT NASUHA
TAUBAT NASUHA Buah Karya: Ah. Hudlroh, S.Ag., S.Pd. Ya Allah Ya Robbi Tuhan Robbul Izzati Aku manusia dhoif ini Bertahun-tahun lamanya hamba hidup bergelimang dosa bahkan